MataParlemen.id-Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru terkait pemisahan jadwal Pemilu Pusat dan Pemilu Daerah menjadi momentum untuk mendorong percepatan revisi Undang-Undang Pemilu.
“Putusan MK yang memberi jeda antara Pemilu Pusat dan Pemilu Daerah selama 2 hingga 2,5 tahun justru memperkuat urgensi kita untuk segera menyusun perubahan UU Pemilu. Karena sekarang Pilkada dan Pemilu masuk dalam satu rezim yang sama, maka pendekatannya harus kodifikasi, bukan model omnibus law,” ujar Zulfikardi Jakarta, Senin (30/6/2025)
Dijelaskannya, merujuk pada kebijakan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 pihaknya mendorong penyusunan regulasi pemilu, melalui pendekatan kodifikasi, yakni menyatukan seluruh pengaturan kepemiluan ke dalam satu undang-undang yang utuh dan sistematis.
Maka dengan putusan MK ini menjadi jelas bahwa tidak perlu lagi ada pemisahan antara rezim pemilu dan pilkada. Sehingga menurutnya, Pilkada dan Pemilu sebaiknya dimasukkan dalam satu UU Pemilu kodifikasi.
Politisi dari Fraksi Partai Golkar ini memaparkan bahwa berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, pembahasan revisi UU Pemilu saat ini berada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Namun, dengan adanya putusan MK terbaru, ia mengusulkan agar pembahasan tersebut dikembalikan ke Komisi II DPR RI sebagai sektor utama yang membidangi masalah atau pemerintahan dalam negeri, termasuk Pemilu dan Pilkada.
“Karena ini adalah core business dari Komisi II, sebagai leading sector yang memang menangani bidang politik dan pemerintahan dalam negeri, sudah sepatutnya pembahasan revisi UU Pemilu dikembalikan ke Komisi II,” tandas legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Timur III tersebut.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa DPR pernah mempersiapkan naskah RUU Pemilu, namun belum sempat dibahas lebih lanjut karena dinamika politik dan keputusan MK sebelumnya yang turut menganulir dan bahkan menambahkan norma-norma baru dalam perkara kepemiluan.
“Maka, sekarang waktunya kita DPR tergerak untuk segera menyusun revisi UU Pemilu secara lebih serius. Mumpung waktunya masih ada, kita bisa meramu berbagai pemikiran yang ada di masyarakat dan memastikan regulasi ini kuat secara substansi dan konstitusional,” katanya.
Tak Seharusnya Buat Norma Baru
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin mengatakan, MK tidak seharusnya terus-menerus menciptakan norma baru, karena wewenang MK dalam konstitusi hanya terbatas pada pengujian norma undang-undang terhadap UUD 1945, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C.
“Persoalan pemilu itu sebenarnya merupakan wilayah open legal policy, artinya merupakan kewenangan penuh dari pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah. Jadi bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk membuat norma baru,” tegas Zulfikar.
Ia menilai bahwa MK dalam beberapa putusannya kerap kali melampaui batas konstitusional dengan membuat norma baru alih-alih menguji norma yang sudah ada. Padahal, menurutnya, pembentuk undang-undang cukup memahami dinamika dan polemik yang ada di masyarakat, termasuk isu keserentakan pemilu.
“Kalau MK terus-menerus menafsirkan dan membuat norma, maka bisa jadi UUD kita harus diubah untuk menampung praktik itu. Tapi faktanya, Pasal 24C UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada MK untuk membentuk norma baru. MK cukup menguji apakah suatu pasal inkonstitusional atau tidak,” jelas Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Zulfikar menekankan bahwa tafsir terhadap norma yang diujikan di MK seharusnya tetap menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Ia mengingatkan bahwa ketentuan mengenai pelaksanaan pemilu dan desain kelembagaan demokrasi nasional semestinya ditentukan secara politik melalui proses legislasi di DPR RI.
“Kalau semua pihak bisa menafsirkan secara sepihak, nanti bisa repot. DPR adalah pihak yang memiliki legitimasi untuk menafsirkan norma dalam konteks open legal policy. Karena itu, meski putusan MK bersifat final dan mengikat, tetap kami akan evaluasi dan selaraskan dalam pembahasan perubahan UU Pemilu ke depan,” ujar legislator asal Daerah Pemilihan Jawa Timur III itu.
Zulfikar menegaskan bahwa DPR RI akan tetap menghormati keputusan MK, namun menekankan pentingnya pembagian peran yang proporsional antar lembaga negara sesuai mandat konstitusi.
“Putusan MK tentu akan kami akomodasi dalam pembahasan undang-undang, tapi pembuatan norma dan desain kebijakan tetap harus kembali ke ranah politik pembentuk undang-undang,” pungkasnya. (*)


