MataParlemen.id-Anggota Komisi XII DPR RI Fraksi PKS, Ateng Sutisna, menyampaikan sejumlah kritik terhadap laporan dan kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam Rapat Kerja bersama Menteri ESDM di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan.
Ateng menilai paparan kementerian terlalu menekankan realisasi anggaran tanpa memberikan gambaran menyeluruh mengenai pelaksanaan program strategis di lapangan.
“Atensi kita bukan hanya serapan anggaran, tetapi bagaimana realisasi program berjalan dan apa saja capaian konkretnya. Banyak program penting tidak tergambar dalam paparan, padahal itu yang ingin diketahui Komisi XII,” ujar Ateng.
Ia juga mempertanyakan rendahnya progres program PPPL yang baru mencapai 9,8 persen dari target 215 ribu rumah tangga.
“Kendalanya apa dan bagaimana rencana tindak lanjutnya. Ini harus dijelaskan secara terbuka,” tambahnya.
Ateng kemudian menyoroti temuan penting saat kunjungan kerja ke Papua. Salah satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S), PT Intim Oil, melaporkan bahwa mereka telah berada di Papua selama 17 tahun tetapi belum juga memasuki tahap produksi.
Menurut Ateng, kondisi ini menunjukkan adanya masalah serius dalam proses perizinan dan pengawasan.
“Proses yang terlalu panjang sangat merugikan. Biaya eksplorasi terus keluar dan pada akhirnya akan dihitung sebagai cost recovery. Ini tidak boleh dibiarkan,” tegasnya.
Ateng menjelaskan bahwa sejumlah prosedur yang terlalu lama ikut menjadi penyebab, mulai dari Amdal yang bisa memakan waktu hingga lima tahun hingga proses tender yang dapat berlangsung dua tahun atau lebih karena pengulangan berkali-kali.
“Saya melihat banyak tender yang diulang sampai tiga atau empat kali. Masalahnya pun tidak substansial. Proses sebesar ini harus dievaluasi. Apakah regulasinya terlalu kaku atau pengambilan keputusannya terlalu berhati-hati,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Ateng meminta audit menyeluruh terhadap proses izin, tender, dan pengawasan SKK Migas untuk memastikan tidak terjadi pemborosan yang nantinya akan membebani negara.
“Ini harus diaudit. Jangan sampai biaya bertahun-tahun itu menjadi beban publik ketika diperhitungkan sebagai cost recovery,” pungkasnya. (*)


