MataParlemen.id- Delapan fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyetujui Rancangan Undang-Undang Kepariwisataan dan sepakat membawa ke rapat paripurna DPR RI untuk disahkan.

Persetujuan disampaikan seluruh fraksi di DPR RI dalam rapat kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri Pariwisata di Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

Rapat mengagendakan Pengambilan keputusan tingkat I atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Sebelum pengambilan keputusan, rapat mendengarkan masing-masing fraksi menyampaikan pandangan mini fraksi. Kedelapan fraksi di parlemen menyatakan setuju dengan catatan masing-masing.

Setelah seluruh fraksi menyampaikan pandangan mini fraksinya, Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay selaku pimpinan rapat meminta persetujuan semua fraksi.

“Saya minta persetujuan kita semua dulu, teman-teman Komisi VII dan juga pemerintah yang kami hormati dan muliakan. Kami dari pimpinan Komisi VII DPR RI ingin meminta persetujuan kita terkait UU ini. Apakah RUU tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan ini dapat kita setujui dan diteruskan ke pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI?” tanya Saleh Partaonan Daulay.

Seluruh peserta rapat menyatakan setuju. Termasuk Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, yang hadir sebagai perwakilan pemerintah juga menyatakan persetujuannya.

Menteri Pariwisata juga sepakat membawa RUU Kepariwisataan untuk disahkan pada Pengambilan Keputusan Tingkat II di rapat paripurna DPR RI.

Subtansi Baru RUU Kepariwisataan

Dalam rapat tersebut, Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepariwisataan DPR RI menyampaikan laporan kerja Panja.

Ketua Panja RUU Kepariwisataan yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Chusnunia Chalim menyampaikan sejumlah subtansi baru dalam RUU Kepariwisataan.

Pertama, pergeseran cara pandang kepariwisataan. Rumusan baru RUU Kepariwisataan merekonstruksi landasan filosofis kepariwisataan dari pendekatan berorientasi pada sumber daya menjadi pendekatan berpusat pada hak asasi manusia, pembangunan peradaban dan penguatan identitas bangsa.

“Kedua, RUU Kepariwisataan memperkenalkan istilah baru yaitu ekosistem Kepariwisataan, warisan budaya, serta memperbarui definisi wisata, pariwisata, dan Kepariwisataan. Hal ini diarahkan agar pengelolaan Kepariwisataan lebih holistik dan terintegrasi,” ucap Chusnunia.

Selanjutnya, RUU Kepariwisataan memperkenalkan empat bab baru dalam merestrukturisasi tata kelola pariwisata, yaitu perencanaan pembangunan Kepariwisataan, destinasi pariwisata, pemasaran kepariwisataan yang terpadu, dan bab teknologi informasi dan komunikasi yang sesuai dengan perkembangan zaman termasuk digitalisasi.

“Keempat, bab ini membentuk pilar strategis yang sebelumnya tidak diatur secara eksplisit dan terstruktur dalam undang-undang eksisting,” kata Chusnunia.

Kebaruan dalam RUU Kepariwisataan adalah penempatan masyarakat dan budaya sebagai pilar sentral kepariwisataan. Terobosan utamanya adalah pengenalan dan sistem klasifikasi pengembangan desa wisata atau kampung wisata yang membaginya menjadi empat tahap yaitu rintisan, berkembang, maju, dan mandiri.

RUU Kepariwisataan memberikan definisi jelas setip klasifikasi berdasarkan kriteria seperti pengembangan potensi, ketersediaan sarana, tingkat kunjungan dan kesadaran masyarakat.

“Sistem klasifikasi ini menciptakan sebuah jenjang pengembangan bagi pariwisata berbasis komunitas atau pariwisata berbasis masyarakat lokal. Ini memungkinkan perintah untuk merancang kebijakan yang bertingkat dan tepat sasaran,” papar Chusnunia.

Poin kelima, RUU Kepariwisataan secara formal mengakui dan melembagakan penggunaan budaya sebagai instrumen soft power dalam diplomasi dan pemasaran pariwisata.

“Pasal 17 T secara eksplisit menyebutkan pemanfaatan budaya dan diaspora Indonesia untuk memperkuat citra positif negara. Ini memberikan landasan hukum yang kuat untuk program-program diplomasi budaya yang terintegrasi dengan strategi pariwisata nasional,” kata Chusnunia.

Terakhir, RUU Kepariwisataan memodernisasi kerangka hukum terkait hak, kewajiban, partisipasi, dan pendanaan untuk menciptakan ekosistem yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan.

“Di bidang pendanaan berkelanjutan, misalnya diberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menarik pungutan dari wisatawan manca negara. Dana yang terkumpul dari pungutan ini secara spesifik dialokasikan kembali untuk kegiatan pengembangan kepariwisataan. Mekanisme ini akan menciptakan skema pendanaan mandiri, mengurangi ketergantungan pada anggaran negara yang fluktuatif. Kombinasi antara pembangun modal manusia dan modal finansial pungutan menunjukkan sebuah desain kebijakan yang komprehensif untuk memastikan keberlanjutan ekosistem pariwisata dalam jangka panjang,” pungkas Chusnunia. (***)

Share.
Exit mobile version