MataPatlemen.id– Badan Legislatif (Baleg) DPR mendorong percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Tak hanya memastikan jaminan perlindungan, RUU ini juga memuat kewajiban pemerintah menjami hak-hak khusus bagi pekerja rumah tangga.

“Kita punya satu perspektif bahwa di periode ini jika perlu pada akhir tahun ini undang-undang PRT harus disetujui,” kata Anggota Baleg Sugiat Santoso dalam acara Dialetika Demokrasi dengan tema “UU PPRT Menjadi Landasan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga” di Gedung DPR, Selasa (16/9/2025).

Ia menekankan perlunya pengaturan yang mempertimbangkan faktor sosial dan budaya. Ia menilai penting adanya perjanjian kerja yang jelas, termasuk lingkup tugas PRT, agar hak-hak pekerja tidak terabaikan.

“Katakanlah jumlahnya PRT itu sebanyak 5 juta orang dan menjadi tulang punggung bagi negara, tapi kenyataannya tidak ada perlindungan hukum,” imbuhnya.

Menurutnya, kehadiran regulasi ini menjadi wujud keberpihakan negara kepada kelompok pekerja rumah tangga yang selama ini sering terabaikan.

Wakil Komisi XIII DPR ini menilai PRT juga perlu diberikan perjanjian kerja dalam bekerja, dan diatur secara jelas lingkup pekerjaannya. Sebab selama ini UU yang melindungi PRT masih tersebar dan belum spesifik.

Berdasarkan data yang dihimpun, jumlah PRT di Indonesia sebanyak 4,2 juta pekerja dan mereka rentan kehilangan hak-haknya sebagai pekerja.

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah hukum ketenagakerjaan di Indonesia saat ini tak secara khusus dan tegas mengatur tentang PRT.

Sementara Anggota Baleg dari Fraksi PKS Ledia Hanifa menyampaikan perkembangan terbaru terkait pembahasan RUU PPRT yang hingga kini belum kunjung disahkan.

RUU yang sudah mengantre selama lebih dari satu dekade ini masih mengalami berbagai kendala teknis dan substansi yang harus dirumuskan dengan matang.

“RUU ini sebenarnya sudah mulai dibahas sejak periode 2009–2014. Saat itu sudah mulai kita diskusikan dan dirapikan. Tapi karena ada momen pergantian periode DPR, beberapa RUU yang seharusnya bisa di-carry over justru terlewat,” jelas Ledia.

Menurutnya, jika saat itu dilakukan rapat untuk menyepakati carry over, proses legislasi bisa lebih cepat.

“Sebenarnya tinggal rapat sekali saja untuk diputuskan agar bisa diajukan kembali. Tapi karena ada banyak sekali RUU lain saat itu, akhirnya RUU PPRT ini tidak masuk ke proses tersebut dan harus diulang kembali,” tambahnya.

Ledia menjelaskan bahwa pembahasan RUU PPRT bukan hanya terhambat secara administratif, tetapi juga substansial. Salah satunya adalah soal definisi pekerja rumah tangga itu sendiri.

“Siapa yang dikategorikan sebagai PRT? Apakah mereka yang dititipkan oleh keluarganya, atau yang disekolahkan tapi juga membantu pekerjaan rumah tangga? Termasuk ruang lingkup pekerjaannya apa saja yang masuk ke pekerjaan rumah tangga? Apakah membersihkan halaman juga termasuk? Mengasuh anak? Mendampingi lansia? Ini semua masih menjadi bahan diskusi,” ungkapnya.

Ledia juga menyoroti masalah penyalur pekerja rumah tangga atau yang dikenal dengan P3RT (Perusahaan Penyalur Pekerja Rumah Tangga). Dalam praktiknya, banyak kasus yang justru muncul dari hubungan antara penyalur dan PRT, bukan langsung antara PRT dan pemberi kerja.

“Kadang P3RT melarang PRT untuk terbuka soal gaji yang seharusnya diterima. Bahkan, dalam beberapa kasus, penyalur tidak memberikan pelatihan yang layak padahal menjanjikan PRT yang berpengalaman. Ini menjadi tantangan besar karena menyangkut aspek perlindungan,” ujarnya.

Selain perlindungan bagi PRT, Ledia juga menegaskan bahwa pemberi kerja pun perlu mendapat kepastian hukum. Ia menyebut adanya praktik manipulatif dari oknum P3RT yang membujuk PRT pindah kerja menjelang akhir masa percobaan demi keuntungan administratif.

Dalam era digital, muncul pula jenis pekerjaan rumah tangga yang dilakukan secara part-time dan bisa dipesan lewat aplikasi. Hal ini juga menjadi pertimbangan apakah mereka dapat dimasukkan dalam kategori PRT yang dilindungi dalam RUU ini.

“Banyak keluarga tidak memiliki ruang untuk pekerja tinggal, tapi butuh bantuan harian. Nah, apakah pekerja harian seperti ini termasuk dalam perlindungan PRT? Ini juga masih kami dalami,” ucap Ledia.

Poin penting lainnya adalah kejelasan perjanjian kerja antara pemberi kerja dan PRT, termasuk perlindungan jaminan sosial.

Menurut Ledia, pekerja yang bekerja tahunan mungkin lebih mudah didaftarkan ke sistem jaminan sosial. Namun bagi PRT yang berpindah-pindah kerja, perlu dirumuskan mekanisme perlindungan yang tepat.

“Apakah cukup hanya diatur harus ada jaminan sosial, atau perlu pengaturan lebih teknis? Ini menyangkut lembaga penyelenggara jaminan sosial juga, dan menjadi pembahasan yang masih berjalan,” jelasnya.

Meski banyak tantangan dan pembahasan yang kompleks, Ledia menegaskan bahwa DPR RI berkomitmen untuk menuntaskan RUU PPRT secepat mungkin.

“Kami ingin memastikan bahwa PRT mendapatkan perlindungan hukum yang layak, sekaligus menjaga keseimbangan hak dan kewajiban antara semua pihak yang terlibat,” tutupnya. (*)

Share.
Exit mobile version